Senin, 28 April 2014

Learning By Doing : Praktek Dagang

“Anak SMA dagang? Memangnya sekolah ini mau dijadikan SMK?” begitu pertanyaan yang mengguncang perasaan saya tatkala pertama kali mengadakan praktek kewirausahaan di sekolah tempat saya mengajar. Tantangan! itulah hal yang terlintas dalam pikiran dan benak saya sebagai guru yang baru pertama kali mengajar mata pelajaran kewirausahaan di SMA. Mata pelajaran aneh bagi sebagian guru SMA sebab selama ini mereka lebih mengenal ekonomi dan akuntansi.

Akhirnya dengan penuh semangat saya mantabkan dan katakan pada anak-anak kelas XII, “yah, mulai senin depan, kalian praktek berdagang!” Justru yang saya tangkap dari mereka adalah semangat, kegembiraan dan keinginan untuk menunjukkan bahwa siswa sma juga bisa menjadi bibit-bibit pengusaha.

Indonesia dengan jumlah populasi yang begitu besar, 230 jutaan penduduk, menurut data statistik tahun 2012 jumlah wirausahawan hanya 1 %. Tidak salah jika dengan kurikulum 2013 pemerintah menitikberatkan materi prakarya dan kewirausahaan. Betapa kecilnya jumlah pengusaha Indonesia dibandingkan Singapura yang hampir mencapai 3% dari jumlah penduduknya adalah pengusaha.
Padahal salah satu faktor pendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara tidak lepas dari peran pengusaha. Jadi, belajar bagaimana berdagang untuk siswa-siswa tingkat SMA tidaklah salah. Belajar teorinya dan dipraktekkan dengan langsung berdagang.
 Kesan pertama melihat semangatnya siswa-siswa melakukan berdagang meski rikuh dan grogi, memberikan asumsi awal bagi saya bahwa justru pembelajaran learning by doing ini sangat membantu anak memahami esensi pelajaran kewirausahaan secara langsung dan mendalam.

Kesan kedua, belajar yang menyenangkan itu membangkitkan dan memotivasi belajar siswa. Setelah melakukan praktek berdagang selesai, kami mendiskusikan segala hal yang berrkaitan dengan aktifitas mereka selama seharian berdagang, mulai dari persiapan, pelaksanaan, materi penilaian, kemampuan menjual sampai mengevaluasi kegiatan tersebut.

Kesan ketiga, guru-guru yang awalnya menentang karena jam mengajarnya tersita, berbalik memeriahkan “pesta” kecil tersebut. Sangat luar biasa …..

Minggu, 20 April 2014

Manajemen

By Vania Putri Nabila

BELAJAR RELIABILITAS DALAM EVALUASI PEMBELAJARAN





Menurut Sukardi (2008: 43) relaibelitas adalah karakter lain dari evaluasi. Reliabelitas juga dapat diartikan sama dengan konsistensi atau keajegan. Suatu instrument evaluasi dikatakan mempunyai nilai reliabelitas tinggi, apabila tes yang dibuat mempunyai hasil konsisten dalam mengukur yang hendak diukur.




Tipe-tipe Reliabelitas
Menurut Sukardi (2008) Ada beberapa tipe reliabelitas yang digunakan dalam kegiatan evaluasi dan masing-masing reliebelitas mempunyai konsistensi yang berbeda-beda. Beberap tipe reliebelitas di antaranya: tes-retes, ekivalen, dan belah dua yang ditentukan melalui korelasi.
Berbagai tipe tersebut akan diuraikan sebagai berikut:

- Reliabilitas Konsistensi Tanggapan terdiri atas :
1)  Relibalelitas Dengan Tes-Retes
Reliabelitas tes-retes tidak lain adalah derajat yang menunjukkan konsistensi hasil sebuah tes dari waktu ke waktu. Tes-Retes menunjukkan variasi skor yang diperoleh dari penyelenggaraan satu tes evaluasi yang dilaksanakan dua kali atau lebih, sebagai akibat kesalahan pengukuran. Dengan kata lain, kita tertarik dalam mencari kejelasan bahwa skor siswa mencapai suatu tes pada waktu tertentu adalah sama hasilnya, ketika siswa itu dites lagi dengan tes yang sama. Dengan melakukan tes-retes tersebut. Seorang guru akan mengetahui seberapa jauh konsistensi suatu tes mengukur apa yang ingin diukur (Sukardi, 2008).
Sedangkan Arikunto (1997: 88) Metode tes ulang (tes-retes) dilakukan untuk menghindari dua penyusunan dua seri tes. Dalam menggunakan teknik atau metode ini pengetes hanya memiliki satu seri tes tapi dicobakan dua kali. Oleh karena tesnya satu dan dicobakan dua kali, maka metode ini dapat disebut juga dengan single-test-double-trial-method.
Reliebilitas tes retes dapat dilakukan dengan cara seperti berikut:
  1. Selenggarakan tes pada suatu kelompok yang tepat sesuai dengan rencana.
  2. Setelah selang waktu tertentu, misalnya satu minggu atau dua minggu, lakukan kembali tes yang sama dengan kelompok yang sama tersebut.
  3. Korelasikan kedua hasil tes tersebut.
Jika hasil koefisien menunjukkan tinggi, berarti reliabilias tes adalah bagus. Sebaliknya, jika korelasi rendah, berarti tes tersebut mempunyai konsistensi rendah (Sukardi, 2008).

2)  Reliabilitas Dengan Bentuk Ekivalensi
Sesuai dengan namanya yaitu ekivalen, maka tes evaluasi yang hendak diukur reliabelitasnya dibuat identik dengan tes acuan. Setiap tampilannya, kecuali substansi item yang ada, dapat berbeda. Kedua tes tersebut sebaliknya mempunyai karate yang sama. Karakteristik yang dimaksud misalnya mengukur variabel yang sama, mempunyai jumlah item sama, struktur sama, mempunyai tingkat kesulitan dan mempunyai petunjuk, cara penskoran, dan interpretasi yang sama (Sukardi 2008).
Pernyataan serupa juga disampaikan oleh Arikunto (1997: 87) tes paralel atau equivalent adalah dua buah tes yang mempunyai kesamaan tujuan, tingkat kesukaran dan susunan, tetapi butir-butirnya berbeda. Dalam istilah bahasa Inggris disebut Alternate-forms method (parallel forms).
Tes reliabelitas secara ekivalen dapat dilaksanakan dengan mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
  1. Tentukan sasaran yang hendak dites
  2. Lakukan tes yang dimaksud kepada subjek sasaran tersebut.
  3. Administrasinya hasilnya secara baik.
  4. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, lakukan pengetesan yang kedua kalinya pada kelompok tersebut
  5. Korelasikan kedua hasil skor tersebut (Sukardi, 2008).
Perlu diketahui juga bahwa tes ekivalensi mempunyai kelemahan yaitu bahwa membuat dua buah tes yang secara esensial ekivalen adalah sulit. Akibatnya akan selalu terjadi kesalahan pengukuran (Sukardi, 2008). Pernyataan lain juga disampaikan oleh Arikunto (1997: 88) kelemahan dari metode ini adalah pengetes pekerjaannya berat karena harus menyusun dua seri tes. Lagi pula harus tersedia waktu yang lama untuk mencobakan dua kali tes.

3) Reliabilitas Dengan Bentuk Belah Dua
Menurut Sukardi (2008: 47) Reliabilitas belah dua ini termasuk reliabilitas yang mengukur konsistensi internal. Yang dimaksud konsistensi internal adalah salah satu tipe reliabilitas yang didasarkan pada keajegan dalam setiap item tes evaluasi. Relibilitas belah dua ini pelaksanaanya hanya satu kali.
Cara melakukan reliabilitas belah dua pada dasarnya dapat dilakukan dengan urutan sebagai  berikut:
  1. Lakukan pengetesan item-item yang telah dibuat kepada subjek sasaran.
  2. Bagi tes yang ada menjadi dua atas dasar dua item, yang paling umum dengan membagi item dengan nomor ganjil dengan item dengan nomor genap pada kelompok tersebut.
  3. Hitung skor subjek pada kedua belah kelompok penerima item genap dan item ganjil.
  4. Korelasikan kedua skor tersebut, menggunakan formula korelasi yang relevan dengan teknik pengukuran (Sukardi, 2008).
Untuk mengetahui seluruh tes harus digunakan rumus Spearman-Brown (Arikunto, 1997):

- Reliabilitas Konsistensi Gabungan Item :
1.      Butir dengan skor dikotomi
2.      Butir dengan skor kontinum

 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Reliabilitas Instrumen
Menurut Sukardi (2008:51-52) koefisien reliabilitas dapat dipengaruhi oleh waktu penyelenggaraan tes-retes. Interval penyelenggaraan yang terlalu dekat atau terlalu jauh, akan mempengaruhi koefisien reliabilitas. Faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi reliabilitas instrument evaluasi di antaranya sebagai berikut::
1) Panjang tes, semakin panjang suatu tes evaluasi, semakin banyak jumlah item materi pembelajaran diukur.
2) Penyebaran skor, koefisien reliabelitas secara langsung dipengaruhi oleh bentuk sebaran skor dalam kelompok siswa yang di ukur. Semakin tinggi sebaran, semakin tinggi estimasi koefisien reliable.
3) Kesulitan tes, tes normative yang terlalu mudah atau terlalu sulit untuk siswa, cenderung menghasilkan skor reliabilitas rendah.
4)  Objektifitas, yang dimaksud dengan objektif yaitu derajat dimana siswa dengan kompetensi sama, mencapai hasil yang sama.

sumber : dari materi kuliah dan 

binham.wordpress.com

Sabtu, 19 April 2014

Kompetensi Guru : Merefleksi Ulang Kemampuan Dasar Seorang Guru

Ahad pagi, diruang yang sama dengan ahad lalu, kotak, sumpek, tapi penuh aura gelora semangat menimba (sumur kali ya) ilmu. Prof Aminuddin Rasyad meningatkan kembali kompetensi yang wajib dimiliki seorang guru. Sarapan yang berkualitas rasanya. Menurut UU Guru dan Dosen nomor 14 tahun 2005, kompetensi yang wajib dimiliki oleh seorang guru adalah kompetensi pedagogik (akademik), sosial, pribadi dan profesional. Tapi jangan dilupakan, menurut Prof Aminudin, kompetensi relijius sebagai akar kehidupan. 


Kompetensi Akademik, mungkin sama dengan kompetensi pedagogik dan profesional meliputi :
1. Ability to mastering of subject matter (kemampuan menguasai ilmu yang akan diajarkan)
2. Ability to manage the teaching learning program (kemampuan meguasai program belajar mengajar
3. Ability to manage the class room (kemampuan mengelola kelas)
4. Ability to manage the media and learning, teaching, resources (kemampuan mengelola media dan sumber pembelajaran)
5. Ability to manage the evaluaion of learning and instruction (kemampuan melakukan penilaian 
6. Ability to educate about the development and the growth of students (kemampuan mendidik dan mengarahkan pertumbungan dan perkembangan peserta didik)
7. Ability to do the research and data processing and analyzing (kemampuan melakukan penelitian dan mengolahnya sebagai bahan evaluasi diri)
8. Ability to give the guidance and councellig on the students problem (kemampuan melakukan konseling dan bimbingan kepada peserta didik)

Kemampuan guru berkaitan dengan media pembelajaran dan sumber-sumber yang dapat menunjang kegiatan belajar mengajar inilah yang coba saya renungi dan soroti. Betapa tidak, amatlah naif jika seorang guru menafikan media pembelajaran pada era informasi saat ini. Kompetensi ini, menurut saya sangatlah perlu karena guru bukan lagi menjadi sumber dari segala sumber belajar. Kemampuan menguasai teknologi pembelajaran berbasis ICT sudah waktunya, mau tidak mau, harus dikuasai oleh seseorang yang hendak menjadi guru. Tentunya harus disesuaikan dengan materi dan kondisi sekolah. Tidak mungkin dilakukan jika sekolah berada di pedalaman, papua misalnya. Tetapi jika berada di pusat kota yang ketersediaan peralatan sudah memadai perlu kiranya guru menyadari sebelum terlambat, bahwa ia harus menguasai perangkat tekonologi tersebut.

Selain media pembelajaran, tentunya model pembelajaran harus juga dikuasai agar dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar tidak membosankan, karena akan menumbuhkan kreatifitas bukan saja siswanya juga gurunya.

Matahari di lantai tujuh makin tinggi, jadi saya lanjutkan pada kesempatan yang lain. semoga bermanfaat.




Sabtu, 05 April 2014

MEMILIH UNTUK TIDAK MEMILIH

Rabu 9 April 2014 menurut punggawa partai direpublik ini adalah hari sakral. Hari penentuan tingkat pencapaian sebuah kredibilitas atas usaha-usaha yang dilakukan baik sesuai dengan undang-undang maupun "kerja buta" dan sradak-sruduk yang menghasilkan kuantitas suara pemilih.


Tetapi hari Rabu, 9 April 2014, bagi saya adalah hari biasa saja, tiada istimewanya, sama seperti hari-hari lainnya. Sama tidak istimewanya dengan para oknum yang hingar-bingar menunjukkan kapasitasnya sebagai calon anggota legislatif. Bukan apatis apalagi berputus asa, tetapi sebuah cara protes yang dilegalkan dalam alam demokrasi di negara manapun. Jadi, jika anda tidak setuju dengan sikap saya jangan menjustifikasi bahwa orang-orang yang tidak ikutan memilih adalah penghianat, frustasi atau hinaan apapun yang sifatnya negatif. Ini adalah pilihan bahwa kemudian berdampak negatif itu lain soal. Menentukan sikap terhadap suatu masalah adalah hak pribadi seseorang termasuk dalam gegap gempita pemilihan umum yang dilaksanakan pemerintah melalui Komisi Pemilihan Umum sebagai amanat undang-undang.