Kalau kita bisa kilas balik sejenak, kita akan melihat dengan penuh kekaguman. Bahwa Indonesia pernah menjadi salah satu bangsa yang dihormati karena keluasan dan kekayaan khazanah keilmuannya. Tidak sedikit dari anak bangsa ini yang diakui keilmuan dan kepribadiannya, Imam Nawawi Al bantani, KH. Wahid Hasyim, KH. Ahmad Dahlan, Mohammad Hatta, Soekarno, Tan Malaka, Buya Hamka, Syafrudin Prawiranegara, Mohammad Husni Thamrin, dan masih banyak lagi. Hampir bisa dipastikan peran mereka dalam perjalanan bangsa ini. Pendidikan yang mereka peroleh bisa jadi tidak hanya dari bangku sekolah, namun juga tidak menafikan arti pentingnya latar belakang akademis. Mereka yang sebagian besar muslim, tentunya sangat membanggakan bagi kita, komunitas muslim Indonesia. Tidak diragukan lagi peran ummat islam dalam perjalanan sejarah Indonesia hingga saat ini.
Kini, Indonesia jauh tertinggal dengan negara Jiran, Malaysia dan Singapore. Apa yang salah dengan bangsa ini? Pendidikan kita semakin menjadi komoditas bisnis, apalagi dengan telah dibukanya kebebasan bagi negara lain untuk membuka instutsi pendidikannya di Indonesia. Bahwa pendidikan membutuhkan biaya, kita tidak menampik hal tersebut. Tetapi pendidikan menjadi komoditas bisnis, inilah masalahnya. hal ini juga yang sedang melanda pendidikan di dunia islam. Menjamurnya sekolah-sekolah dengan embel-embel terpadu, makin membuat biaya pendidikan membengkak. Seolah dengan tambahan kata terpadau sekolah tersebut sudah menjamin kualitas siswanya. Padahal? Sebuah fenomena yang memiriskan hati. Sebagian besar bangsa ini muslim, sebagian besar bangsa ini yang jelata adalah muslim yang secara ekonomi tidak akan mampu membiayai pendidikan pada sekolah-sekolah berlabel terpadu atau sekolah model, sekolah unggulan atau apalah namanya. Karena kita sama-sama tahu, sekolah-sekolah tersebut jor-joran mengiklankan diri dengan fasilitas serba baik, metode pengajaran serba bagus, lulusan serba unggul, pengajar serba berkualitas dan profesional, kurikulum hasil kawin dengan sekolah-sekolah luar negeri yang diakui secara internasional. Sebagai akibatnya, sekoalh-sekolah tersebut menuntut biaya yang "memadai" untuk operasionalnya. Dengan kata lain, sekolah berbiaya tinggi dan hanya orang-orang berkantong tebal yang bisa menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah tersebut.
Memang tidak semua sekolah Islam berkualitas berbiaya tinggi, namun mungkin bisa dihitung dengan sepuluh jari. Smart Eklensia, milik Dompet Dhuafa di Parung, SMP dan SMK Utama milik PLN di Gandul Cinere sebagian kecil sekolah cuma-cuma berkualitas dan terpercaya. Sebagian besar sekolah Islam berlabel terpadu, berkurikulum internasional atau berlisensi serba mahal. Di samping itu, dua sekolah gratis di atas diperuntukkan bagi siswa dhuafa tapi pandai. Bagaimana dengan anak-anak biasa saja? Sekolah pemerintah ? Dengan kondisi saat ini, rasanya tidak mungkin membina siswa yang biasa-biasa saja, gratis sekalipun. Perbandingan guru dengan siswa yang jomplang, tidak sebanding. Satu kelas ditangani satu guru dengan jumlah sekitar 40-an siswa. Gratis? perlu dipertanyakan juga kalau SD dan SMP milik pemerintah gratis, faktanya buku dan biaya tambahan lainnya tetap dipungut.
Lantas dimanakah sekolah Islam murah berkualitas? Adakah kesempatan untuk anak-anak muslim yang secara ekonomis orangtuanya termasuk golongan tidak mampu, anaknya biasa-biasa saja untuk menimati sekolah murah bahkan gratis dan berkualitas?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar